Hotel yang Menyeramkan By Hindun
Tin ..... tiiiiin ............... tiiiin, suara Klakson mobil, yang terus menerus berbunyi, karena rasa tidak sabar mereka terhadap kemacetan yang memang luar biasa. Jam sudah menunjukkan Pukul 19.00, kami masih berada di area Puncak mau menuju ke Jakarta.
Mobil yang saya tumpangi bersama dengan ke empat temanku yang lainnya, dan si kecil Hanif yang sudah mulai gelisah. Kami sudah mengakhiri liburan kami dari Bandung dan hari Minggu ini kami berencana untuk kembali ke rumah, karena memang keesokan harinya kami sudah harus melakukan kegiatan rutin kami, bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, yang ada di bilangan Thamrin. Sedangkan saya sendiri adalah seorang guru di sekolah swasta di daerah Cipayung, Jakarta Timur.
Sangat berbeda sekali dengan suasana kerjaku dengan teman-temanku, dan lokasi kerjaku juga berbeda, tempat kerjaku adalah wilayah yang jarang sekali melihat kemacetan yang mungkin setiap hari dialami teman-temanku ketika mereka bekerja, karena mereka bekerja di bilangan Jakarta Pusat yang merupakan central kegiatan ekonomi masyarakat yang ada di DKI Jakarta.
"Mama turun, mama turun, mama turun", terdengar tangisan Hanif yang mungkin sudah merasa bosan dengan kemacetan yang kami alami, membuyarkan lamunanku. Semua yang ada di Mobil pun langsung berusaha untuk membujuk Hanif yang terus menangis, Aku pun termasuk yang ikut menenangkannya. Karena memang selama liburan di Bandung ternyata Hanif sudah lumayan dekat denganku, dan bila ku gendong biasanya selalu bisa diajak bercanda dan tertawa. Tapi mungkin karena suasana yang sumpek di dalam mobil karena macet tidak bisa membuat Hanif untuk diam, dia masih terus menangis, sampai akhirnya diambil alih ayahnya yang sambil memegang kendali mobil memangkunya, ternyata ampuh dia langsung diam. Jam sudah menunjukkan pukul 22:00 tapi mobil kami hanya bergerak 200 meter, terlalu, akhirnya kami memutuskan untuk singgah di hotel yang pertama kali kami temui.
Akhirnya kami menemukan hotel yang pertama kali kami ditemui di tengah kemacetan, saya lihat namanya Hotel Pandawa. Setelah sampai di Parkiran kami pun segera turun, ku lihat suasana hotelnya membuat buku kuduk merinding karena penerangannya tidak seperti hotel yang kami tempati ketika di Bandung, di sini suasananya menyeramkan, tetapi karena kelelahan kami semuanya hanya diam.
Ku lihat Hendi menuju ke meja recepsionist untuk memesan kamar, beberapa kali bel dibunyikan, tapi penghuni belum juga kunjung datang, menambah suasana tambah seram, tapi itu hanya perasaanku saja. Baru 5 menit kemudian datang penjaganya dengan muka yang kelihatan pucat, memang harganya sih murah 300.000 untuk ruangan suite room katanya. Akhirnya kami pun mengambil kamar itu.
Ketika kami memasuki dalam ruangan tersebut ruangan sunyi dan seram sepanjang menuju ruangan kamar kami semakin membuat bulu kudukku merinding, tidak ada suara yang kami keluarkan, mungkin karena capek, semuanya terdiam, akhirnya kami sampai di kamar yang kami tuju. Dalam kamar tersebut ada 1 tempat tidur dan 2 kasur dibawah, kami pun segera memasuki ruangan tersebut karena memang badan kami terasa penat sekali.
Ketika di dalam ruangan, baru lah kami berbicara, tapi kami tidak membahas hal-hal yang membuat kami semakin takut. Ria segera menggantikan popok dan baju Hanif, karena dianggapnya mungkin karena gerah dan segera menidurkannya. Sedang Kami bertiga dengan Hendi dan Ani, ngobrol sebentar, tiba-tiba lemari terbuka dengan sendirinya, kami kaget. Ria langsung menjerit, tetapi Hendi menenangkan istrinya, ah itu Cuma angin saja kok, katanya, sambil menutup lemari. Tapi tidak lama lemari itu pun kembali terbuka, tapi langsung saya menutupnya. Tapi memang anehnya ketika saya melihat ke cermin yang ada di lemari tersebut bulu kudukku pun kembali merinding, tapi saya hanya berdo’a.
Sambil menunggu antrinya toilet saya penasaran, ingin melihat suasana luar penginapan kami, saya berdiri menuju ke jendela yang ada di hotel kami, karena suasana yang gelap saya tidak bisa melihat apa-apa, tapi kelihatan penginapan kami ada diatas tebing, itu yang membuatku lebih ngeri lagi, dan saya pun langsung pergi dari jendela, tidak lama Hendi juga melakukan hal yang sama dengan ku.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk tidur sejenak, sambil menunggu kemacetan di luar sana mereda, dan saya melihat Hanif sudah mulai tidur, hanya ku lihat Ria yang masih sibuk membenahi letak anaknya agar tidur lebih nyaman.
Tak selang beberapa lama ku lihat Hendi bangun, memang Hendi tidur tidak jauh dari, melihat dia bangun, aku pun ikut bangun ingin menanyakan ada apa, tapi tak disangka, Hendi malah mencekik diriku, aku gelagapan, sambil teriak,
“Hen, sadar hen, hen sadar hen, tapi Hendi tetap tidak melepaskan cekikannya,
Aku terus berteriak, sadar hen, sadar hen, sambil mengumpulkan tenaga dan ambil posisi supaya bisa terlepas dari cekikannya, langsung saya tendang perutnya sambil mengucapkan Astagfirullohal’aziim, sadar Hendi.
Hendi terlontar sampai ke dinding, kamudian baru dia tersadar.
“Dun, gue kenapa ?” Hendi bertanya padaku
“Gila lu, lu tadi nyekik gue tahu, mang lo gak sadar apa”, teriakku sambil terus mengucapkan istigfar dan ayat kursi
“Ah Masa tadi gue tuh lihat Hanif Jatuh terus gue megangin Hanif, lha jadi yang tadi gue pegang bukan Hanif Malah elu”, sambil garuk-garuk kepala
Maaf yaa gue ga sadar” ujarnya
“Ya sudah gak pa apa” Jawabku tambah merinding lagi aku
Tiba-tiba Ria bertanya,” Kenapa sih Dun ?” tatapnya tanda tidak mengerti
“Ah masa kamu gak lihat Ria, kalau Hendi mau nyekik gue,” kilahku balik bertanya
“Ah Masa, kok gue gak lihat apa2” ujarnya
“Astagfirulohal ‘Aziim, tadi gue dicekik sama Hendi, tapi Hendi ngerasa kalau dia tuh ngamanin Hanif yang katanya mau jatuh, ujarku menjelaskan ke Ria,” istrinya Hendi supaya tidak salah paham.
Astaghfirullohal’aziim, semuanya langsung berucap, yuuuk siap-siap kita pulang aja.
Akhirnya kami pun segera beres-beres untuk segera pulang, Jam menunjukkan pukul 24:00, kami segera bergarak menuju ke luar hotel, kulihat Hendi mengembalikan kunci kamar kepada petugas hotel, suasana Hotel semakin sepi, kulihat Hotel sebesar itu tapi yang menjadi petugasnya hanya satu orang dan tidak ada satu pun tamu yang ada di sekitar Hotel, hanya kami berlima.
Segera kami keluar dari Hotel tidak ada satu pun dari kami yang berbicara, alhamdulillah jalan sudah lancar, tidak ada kemacetan sedikit, barulah ketika kami, sudak mendekati Depok kami angkat berbicara. Mereka pun bertanya kembali, kejadian yang sebenarnya. Dan Ternyata darimasuk sampai keluar Hotel tadi kami memiliki persepsi yang sama bahwa Hotel tersebut adalah Hotel yang Angker, sampai kami pun tidak ada yang berani menengok ke belakang, khawatir kalau Hotel tersebut berubah jadi kuburan.
Wallohu a’laam bis showaab, ini adalah kisah yang benar-benar saya alami,sampai sekarang kalau saya menuju ke Bandung tidak pernah saya melihat Hotel yang pernah kami tempati pada saat itu.
Apakah anda pernah mengalami hal seperti itu ???
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ceritanya membuat adrenalin kita naik Bu Hindun
Ceritanya sangat seru sekali dan menyeramkan...
terima kasih, salam literasi
ceritanya sangat bagus dan menyeramkan tapi seru juga
terima kasih, salam literasi
Cerita yang menyeramkan dan mencekamm
terima kasih, salam literasi
terima kasih, salam literasi
terima kasih, salam literasi
terima kasih, salam literasi
Ceritanya sangat seru dan menyeramkan
terima kasih, salam literasi
seru, penuh misteri dan menyeramkan..
terima kasih pak, salam kenal, dan salam literasi